Seorang buyut dari seorang cicit tetangga saya (nah loh hehehe) menceritakan kekesalannya kepada sang cicit kepada saya. “Sebel banget dah gue denger si Rifa bilang, ‘Hilal kita ciuman yuk.'” Hilal adalah teman bermain si bocah kecil bernama Rifa yang usianya sekitar 4 tahunan. Rifa itu perempuan dan Hilal laki-laki. Mereka adalah teman sepermainan, keduanya seusia. Setiap hari memang saya melihat mereka selalu bermain bersama, mulai dari pagi sampai sore hari. Intinya mereka adalah teman dekat (versi anak-anak ya).
Saya mesam-mesem mendengar cerita sang buyut. Saya tidak terperangah, tidak juga heran. Karena bocah itu pernah melontarkan jawaban yang hampir senada ketika saya tanyakan dia mau kemana. Di suatu sore, saya lihat dia sudah rapi jali di depan rumahnya dengan memakai jilbab mungil berwarna pink. Ketika saya tanya mau kemana, dia menjawab, “Aku mau ngaji, mau cinta-cintaan sama Hilal.” Sontak saya kaget, heh? Ketika saya tanya kembali apa arti cinta-cintaan? Dia menjawab tidak tahu sambil tersenyum malu-malu. Namun saya tidak membiarkan diri saya berlama-lama keheranan, karena saya langsung ingat kalau si anak rutin “mendampingi” sang nenek menonton sinetron Cinta Fitri di Sinetron Cinta TeleVisi. Jadi tak heran, kalau celotehannya ya seputar cinta-cintaan yang, sepertinya, belum dia mengerti sama sekali artinya.
Biarlah saya ceritakan sedikit riwayat si bocah kecil. Sejak lahir, dia diasuh neneknya karena mamanya bekerja. Alhasil dia lebih dekat dengan nenek ketimbang mamanya sendiri. Meski sang mama libur bekerja, si anak tetap meminta sang nenek lah yang membuatkannya susu kalau dia haus. Sang nenek yang mengurus semua pekerjaan rumah tangga, tanpa didampingi asisten, kerap melakukan banyak kegiatannya di depan televisi. Dia pun, sepertinya, berusaha menenangkan sang cucu dengan televisi kalau dia rewel, demi bisa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang menggunung setiap harinya. Jadilah sang cucu pecinta televisi. Karena mulai bangun tidur sampai dia tidur lagi, selalu ada di depan televisi. Kabarnya si anak suka mengulur waktunya beraktivitas di pagi hari demi menonton televisi.
Kasus tetangga saya itu merupakan salah satu contoh kecil kelalaian orangtua atau pengasuh anak, dalam hal ini, nenek dalam mengasuh anak. Mereka membiarkan anak ikut menikmati tayangan televisi yang tidak sesuai umur anak. Dengan santai kerap mereka berkata, “Ah biar saja, mereka kan masih kecil belum mengerti apa-apa.” Padahal faktanya, otak anak cepat menyerap informasi yang ada di sekelilingnya secepat spons menyerap air. Dengan cepat mereka menyerap apa saja yang mereka dengar dan mereka lihat. Kalau satu kali saja mereka bisa ingat, apalagi seringkali?
Contoh lainnya mungkin bisa Anda lihat sendiri di lingkungan sekitar, atau jangan-jangan, di dalam rumah Anda sendiri? Dari buku yang pernah saya baca, Positive Parenting karya M.Fauzil Adhim, membuat anak anteng dengan televisi merupakan sebuah kesalahan kecil yang fatal akibatnya. Kalau kita menenangkan anak yang sedang rewel dengan televisi, si anak akan berpendapat kalau televisi adalah sebuah benda yang boleh ditonton. Ketika sudah menjadi kebiasaan, si anak akan mulai kecanduan televisi. Dia, mungkin, akan marah kalau dilarang menonton televisi. Hasilnya mereka mengabaikan kewajiban mereka yang lain, karena asyik di depan tivi. Mereka pun akan menganggap kegiatan lain yang membuat orangtua mereka melarang mereka menonton tivi adalah sebuah gangguan. Seperti belajar dan shalat. Hmm gawat kan? Jadi harus bagaimana?
Kalau saya memilih untuk tidak membiasakan Jovi menonton tivi. Dan alhamdulillah, Jovi memang gak betah di depan tivi. Dia lebih suka diajak jalan keluar atau jumpalitan di atas kasurnya sambil meraih benda apa saja yang ada di dekatnya. Semoga ini berlangsung sampai dewasa. Amiin
Tak dapat dipungkiri bahwa televisi adalah sarana hiburan paling murah dan mudah yang bisa didapatkan, apalagi untuk golongan ekonomi menengah ke bawah. Ketimbang mengeluarkan uang untuk berekreasi atau sekadar window shopping di mall, mereka lebih memilih mengajak anaknya nonton tivi. Jadilah tivi benda wajib yang patut ditonton, apa pun yang terjadi. Namun, sebenarnya semua itu bisa diakali dengan main di luar rumah dengan teman sebayanya, untuk lebih melatih gerak motorik dan membiasakan mereka untuk bersosialisasi dengan lingkungan tempat tinggalnya. Atau orangtua bisa mengajak anaknya membaca buku dengan membacakan buku-buku padat gizi untuk perkembangan otak dan mental mereka. Banyak cara yang bisa dilakukan, semua tergantung kreativitas orangtua. Lebih baik mulai mencegah dari sekarang, ketimbang kejadian seperti si bocah 4 tahun tetangga saya itu bukan?