Betapa Berbahayanya Televisi

Posted: September 21, 2010 in my opinion

Seorang buyut dari seorang cicit tetangga saya (nah loh hehehe) menceritakan kekesalannya kepada sang cicit kepada saya. “Sebel banget dah gue denger si Rifa bilang, ‘Hilal kita ciuman yuk.'” Hilal adalah teman bermain si bocah kecil bernama Rifa yang usianya sekitar 4 tahunan. Rifa itu perempuan dan Hilal laki-laki. Mereka adalah teman sepermainan, keduanya seusia. Setiap hari memang saya melihat mereka selalu bermain bersama, mulai dari pagi sampai sore hari. Intinya mereka adalah teman dekat (versi anak-anak ya).

Saya mesam-mesem mendengar cerita sang buyut. Saya tidak terperangah, tidak juga heran. Karena bocah itu pernah melontarkan jawaban yang hampir senada ketika saya tanyakan dia mau kemana. Di suatu sore, saya lihat dia sudah rapi jali di depan rumahnya dengan memakai jilbab mungil berwarna pink. Ketika saya tanya mau kemana, dia menjawab, “Aku mau ngaji, mau cinta-cintaan sama Hilal.” Sontak saya kaget, heh? Ketika saya tanya kembali apa arti cinta-cintaan? Dia menjawab tidak tahu sambil tersenyum malu-malu. Namun saya tidak membiarkan diri saya berlama-lama keheranan, karena saya langsung ingat kalau si anak rutin “mendampingi” sang nenek menonton sinetron Cinta Fitri di Sinetron Cinta TeleVisi. Jadi tak heran, kalau celotehannya ya seputar cinta-cintaan yang, sepertinya, belum dia mengerti sama sekali artinya.

Biarlah saya ceritakan sedikit riwayat si bocah kecil. Sejak lahir, dia diasuh neneknya karena mamanya bekerja. Alhasil dia lebih dekat dengan nenek ketimbang mamanya sendiri. Meski sang mama libur bekerja, si anak tetap meminta sang nenek lah yang membuatkannya susu kalau dia haus. Sang nenek yang mengurus semua pekerjaan rumah tangga, tanpa didampingi asisten, kerap melakukan banyak kegiatannya di depan televisi. Dia pun, sepertinya, berusaha menenangkan sang cucu dengan televisi kalau dia rewel, demi bisa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang menggunung setiap harinya. Jadilah sang cucu pecinta televisi. Karena mulai bangun tidur sampai dia tidur lagi, selalu ada di depan televisi. Kabarnya si anak suka mengulur waktunya beraktivitas di pagi hari demi menonton televisi.

Kasus tetangga saya itu merupakan salah satu contoh kecil kelalaian orangtua atau pengasuh anak, dalam hal ini, nenek dalam mengasuh anak. Mereka membiarkan anak ikut menikmati tayangan televisi yang tidak sesuai umur anak. Dengan santai kerap mereka berkata, “Ah biar saja, mereka kan masih kecil belum mengerti apa-apa.” Padahal faktanya, otak anak cepat menyerap informasi yang ada di sekelilingnya secepat spons menyerap air. Dengan cepat mereka menyerap apa saja yang mereka dengar dan mereka lihat. Kalau satu kali saja mereka bisa ingat, apalagi seringkali?

Contoh lainnya mungkin bisa Anda lihat sendiri di lingkungan sekitar, atau jangan-jangan, di dalam rumah Anda sendiri? Dari buku yang pernah saya baca, Positive Parenting karya M.Fauzil Adhim, membuat anak anteng dengan televisi merupakan sebuah kesalahan kecil yang fatal akibatnya. Kalau kita menenangkan anak yang sedang rewel dengan televisi, si anak akan berpendapat kalau televisi adalah sebuah benda yang boleh ditonton. Ketika sudah menjadi kebiasaan, si anak akan mulai kecanduan televisi. Dia, mungkin, akan marah kalau dilarang menonton televisi. Hasilnya mereka mengabaikan kewajiban mereka yang lain, karena asyik di depan tivi. Mereka pun akan menganggap kegiatan lain yang membuat orangtua mereka melarang mereka menonton tivi adalah sebuah gangguan. Seperti belajar dan shalat. Hmm gawat kan? Jadi harus bagaimana?

Kalau saya memilih untuk tidak membiasakan Jovi menonton tivi. Dan alhamdulillah, Jovi memang gak betah di depan tivi. Dia lebih suka diajak jalan keluar atau jumpalitan di atas kasurnya sambil meraih benda apa saja yang ada di dekatnya. Semoga ini berlangsung sampai dewasa. Amiin

Tak dapat dipungkiri bahwa televisi adalah sarana hiburan paling murah dan mudah yang bisa didapatkan, apalagi untuk golongan ekonomi menengah ke bawah. Ketimbang mengeluarkan uang untuk berekreasi atau sekadar window shopping di mall, mereka lebih memilih mengajak anaknya nonton tivi. Jadilah tivi benda wajib yang patut ditonton, apa pun yang terjadi. Namun, sebenarnya semua itu bisa diakali dengan main di luar rumah dengan teman sebayanya, untuk lebih melatih gerak motorik dan membiasakan mereka untuk bersosialisasi dengan lingkungan tempat tinggalnya. Atau orangtua bisa mengajak anaknya membaca buku dengan membacakan buku-buku padat gizi untuk perkembangan otak dan mental mereka. Banyak cara yang bisa dilakukan, semua tergantung kreativitas orangtua. Lebih baik mulai mencegah dari sekarang, ketimbang kejadian seperti si bocah 4 tahun tetangga saya itu bukan?

Keliling Dunia Mencari Jovita

Posted: August 4, 2010 in story to tell

My beautiful, Jovita Adzkiya Hermawan

Jauh sebelum dinyatakan hamil, bahkan ketika masih lajang, saya punya keinginan. Kalau kelak memiliki anak akan saya beri nama Alexandria, kalau dia perempuan, dan Gaza, kalau dia laki-laki. Alexandria (Mesir) dan Gaza (Palestina) adalah dua nama kota yang memiliki sejarah yang luar biasa, menurut saya. Dan ketika dinyatakan positif hamil, keinginan saya itu pun semakin meluap-luap. Saya langsung mengatakan tentang opsi kedua nama tersebut. Suami pada awalnya setuju-setuju saja, tapi ketika kandungan mulai membesar, dia mulai memberikan pertimbangan.

Menurut suami, nama Alexandria terdengar seperti Alexander, yang umumnya, digunakan oleh orang yang bukan beragama Islam. Dia khawatir ayah saya keberatan dengan nama itu. Nama Gaza, menurut dia bagus dan dia suka. Namun dia merasa nama itu kurang pas dijadikan sebagai nama anka, karena riwayat kota Gaza yang selalu berdarah sejak lama. Awalnya saya tidak sependapat dengan suami saya, dia sih santai dan mengatakan, “Ya terserah kamu say.”

Tapi pas dipikir-pikir, bener juga ya pertimbangan dari suami saya. Setelah tahu nama-nama apa saja yang dibolehkan dan dianjurkan untuk tidak digunakan dalam Islam, saya mulai hunting nama lain. Heboh download nama-nama bayi di internet, download sampai ribuan nama. Halah bukan memberi inspirasi, malah bikin saya bingung. Setiap hari kerjaannya melototin layar komputer, klik san-klik sini nyari nama yang kira-kira oke, bermakna bagus, dan gak pasaran. Susyahnya rek hehehehe….. maklum, saya bukan penganut kata-kata Shakespeare, ‘Apalah arti sebuah nama’. Menurut saya, nama itu punya arti dan dibalik arti tersebut tersimpan doa dan harapan orangtua kepada anak. Makanya nyarinya setengah mati sampe senewen sendiri. Kakak ipar saya kemudian meminjamkan buku kumpulan nama-nama bayi. Wah makin banyak pilihan, benar-benar makin bingung. A-Z, bahasa Arab sampe Afrika, nama-nama Islam sampai nama-nama Jawa. Waaah pusing.

Sampai usia kandungan 7 bulan, saya belum menemukan nama yang cocok. Ada beberapa nama yang oke, tapi artinya gak cocok. Nama Ameera salah satunya, namanya bagus, dan kayanya gak banyak deh yang pakai nama ini. Tapi artinya ‘princess’ wah saya ngeri anak saya jadi manja nantinya karena bergelar bangsawan hehehe…. Suami pun cenderung cuek, karena dia sudah kelewat capek. Pasalnya setiap memberi masukan, selalu saya tolak. Jadi ya, resiko harus saya tanggung sendiri :p. Ketika ada nama yang cocok, eh arti di buku sama di kamus beda. Ya gak jadi lah, daripada nanti nama saya jadi bahan tertawaan karena salah ngartiin nama anak. Soalnya perbedaan artinya rada-rada jauh, di buku tertulis artinya pintar, lah di kamus artinya suci. Kan jauh banget!

Akhirnya setelah mata sepet melototin monitor dan tangan cape bolak-balik halaman buku, ketemu juga nama itu, Jovita. Jovita berasal dari bahasa Latin yang artinya periang. Khawatir salah arti lagi, saya browsing-browsing, dan artinya sama, periang. Wah cocok. Tinggal cari middle name-nya aja. Kenapa harus pake middle name? biar kalo bikin email anak saya gak bingung hehehe…. Gak ding, cuma iseng aja supaya namanya panjangan dikit, sekalian nambahin doanya. Dan nama tengahnya adalah Adzkiya yang artinya cerdas dalam bahasa Arab. Suami saya memang berpesan, kalau nyari nama anak yang artinya kurang lebih ‘menyenangkan’ biar anaknya nanti disukai banyak orang dan menjadi anak yang ngangenin. Sedangkan saya berharap anak saya kelak akan menjadi anak yang cerdas dan mencintai ilmu. Karena itulah Jovita Adzkiya adalah nama yang pas, dengan tambahan Hermawan di belakangnya agar kelak, kalau masih mau :p, kalo Jovi punya adik akan menjadi penanda nama keluarga kami.

Apa yang Mereka Pikirkan?

Posted: August 3, 2010 in my opinion

Dulu, saya tidak suka anak kecil. Tapi sejak memiliki anak, saya suka sekali anak kecil. Hmmm tidak suka sekali sih, suka saja, atau ya, tepatnya tidak menganggap mereka sebagai sebuah gangguan hehehe..

Baby dan anak kecil adalah makhluk Allah yang lucu sekali. Tingkah mereka kerap mengejutkan, dan juga terkadang sangat mengesalkan. Tapi saya mulai menyukai mereka. Mungkin karena naluri keibuan yang telah diberikan Allah kepada saya.

Karena naluri itu pulalah, saya sama sekali tidak bisa mengerti kalau ada orang waras yang tega melayangkan tamparan dan pukulan kepada anak kandung mereka sendiri.

Di suatu sore yang cerah, yang seharusnya tidak ternodai oleh kejadian buruk apa pun, saya tengah duduk di depan warung milik ibu saya, yang kebetulan ada di pinggir jalan yang agak besar. Ketika sedang asyik bercanda dan bercengkrama dengan keluarga, saya dikejutkan oleh teriakkan seorang laki-laki yang mengumpat dan jerit tangis seorang anak memohon ampun. Laki-laki tersebut, yang adalah ayah kandung dari anak yang menangis itu, mengejar anak perempuannya, yang baru berusia sekitar 6 tahun, sambil mengacungkan tinjunya dan berteriak, “Dea, jangan kabur lo! Sini gue hajar lo!” Dan dengan pilunya si anak berlari sambil menjerit ketakutan, “Ampun bapak, jangan dipukul Pak.” Pandangan semua orang yang ada di sekitar tempat itu pun beralih ke adegan dramatis tersebut. Sayangnya tidak ada yang berani melakukan apa pun, karena di Indonesia ini, masalah KDRT dianggap sebagai masalah pribadi. Dan kami, yang ada di tempat kejadian, juga sudah sangat paham, kalau anak itu memang kerap mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orangtuanya, ayah maupun ibunya. Sosok terakhir itu membuat saya bergidik ngeri. Tak pernah terbayangkan bahwa saya akan melakukannya kepada buah hati saya kelak. Memang ada beberapa orang yang memaklumi tindakan kasar kedua orangtua anak tersebut kepada anaknya. Pasalnya, anak tersebut terkenal nakal. Tapi kenakalannya tersebut bisa jadi merupakan akibat dari kekerasan yang selama ini diterimanya. Dan setelah adegan kejar-kejaran bak film action itu, akhirnya si anak berhasil diseret oleh ayahnya. Kami tidak tahu seperti apa nasibnya ketika masuk ke dalam rumah. Bayangkan saja, kalau di area publik saja dia berani melakukan tindakan kasar tersebut, apalagi di area pribadi seperti rumahnya sendiri?

Tadi pagi, di hari ini, saya melihat lagi, dengan langsung kekerasan yang dialami anak. Dan dilakukan oleh ibunya sendiri. Si ibu membonceng anaknya di depan dengan sepeda motor, tampak si ibu sedang memarahi anaknya, dan dalam hitungan detik, tangan kanannya langsung memukul telinga kanan si anak perempuan lucu, yang masih bersekolah TK. Entah menangis atau tidak anaknya itu, tapi pasti rasanya sakit sekali. Karena saya pun langsung merasa sakit ketika melihat adegan itu berlangsung di depan mata saya sendiri. Saya langsung memeluk erat Jovita, yang saat itu sedang dalam gendongan saya seraya berdoa lirih, “Ya Allah berikanlah hamba kesabaran yang mahaluas dalam merawat dan mendidik Jovita. Meski apa pun yang terjadi, jangan biarkan hamba melayangkan tamparan atau pukulan ke badannya yang mungil. Kelak, jika dia mengecewakan saya sekali pun, mohon bimbingan-Mu untuk memberikan pengertian lewat tutur kata yang halus, bukan dengan cacian atau pukulan.”

Kejadian tersebut, barangkali, hanyalah sebuah contoh kecil dari sederet kasus kekerasan terhadap anak dan bayi. Baru-baru ini ada seorang bayi berusia 2 minggu yang kehilangan nyawanya di tangan ibunya sendiri. Sebelumnya ada ibu yang tega menghabisi nyawa anaknya sendiri (udah kaya program kriminal aja bahasa saya nih hehehe…) dengan menggigit dan memukuli anaknya yang berusia balita. Dan ada pula ibu yang tega meracuni semua anaknya, karena khawatir tidak mampu membiayai masa depan anaknya. Dan masih banyak lagi, kejadian serupa yang membuat saya merinding.

Saya sebenarnya alergi mendengar atau membaca berita-berita semacam itu, tapi yah insting manusia memang selalu ingin tahu bukan? Jadilah saya sambil menutup kuping menyaksikan berita mengerikan itu di layar kaca.

Sampai saat ini, saya tidak mengerti apa yang ada di pikiran para orangtua, khususnya ibu, yang melakukan semua kekejian terhadap anak mereka sendiri. Rasa sakit ketika melahirkan anak saya mungkin menyebabkan saya menjadi over sensitif atau apa. Rasanya sangat tidak masuk akal, kalau rasa sakit yang dirasakan ketika akan melahirkan sang buah hati harus dibayar dengan kematiannya di tangan kita sendiri. Dan saya rasa, semua manusia yang masih punya otak dan hati juga sependapat dengan saya.

Jadi apa yang ada di pikiran mereka sebenarnya?